Senin, 25 Juli 2011

Air Terjun Pundak Kiwo



Air Terjun Pundak Kiwo teletak di bagian paling atas rangkaian air terjun di desa Ngancar dan merupakan air terjun paling besar/tinggi dengan ketinggian sekitar 45 meter. Air terjun ini berjarak sekitar setengah jam dari Air Terjun Jarakan. Jika dipandang dari bawah, letak air terjun ini berada pada sisi kiri lereng guung, sehingga disebut Pundak Kiwo.

Legenda

Salah satunya legenda Air Terjun Pundak Kiwo adalah tentang seorang manusia yang bernama Mbah Guru Petung atau Ki Demang Singowijoyo, yang dulu "menguasai" Gunung Sidoramping." Konon, dulu Ki Demang Singo diperintahkan pamannya, Ki Ageng Bancolono, yang bermukim di Dukuh Cemorosewu, agar membuat sebuah telaga demi kemakmuran masa depan.

Untuk mengisi telaga itu, Ki Demang Singo mengalirkan air dari curahan yang berada di Gunung Pundak Kiwo, salah satu anak Gunung Sidoramping. Tak heran, sampai sekarang air terjun puncak itu dinamai Air Terjun Pundak Kiwo.

Versi lain yang diyakini sebagian penduduk Desa Ngancar, tentang digunakannya pundak kiri untuk mengangkut kayu dari air terjun itu.  Pundak kiri adalah istilah bahasa Indonesia untuk "Pundak Kiwo". Lagi-lagi konon, kalau penduduk nekat menggotong kayu dengan pundak kanan, ia tak akan kuat sampai ke tujuan. Gotongan itu harus dipindah ke pundak kiri, agar ia aman dan selamat sampai tujuan.
Read more »

Puncak Lawu



Gunung Lawu memiliki dua buah Kawah yaitu Kawah Telaga Kuning dan Kawah Telaga Lembung Selayur, juga terdapat tempat-tempat keramat di sekitarnya, diantaranya Sendang Panguripan, Sumur Jolo Tundo, Gua Sigolo-golo, Sendang Drajad, Sendang Macan, Hargo Tumiling, Pasar Dieng, Hargo Dalem, dan Hargo Dumilah. Segarnya udara pegunungan dan indahnya matahari terbit dipuncak lawu menjadikan kekaguman tersendiri bagi pendaki. Puji syukur kepada sang Kholiq akan kebesaran-Nya, ada rasa yang beda saat berada dipuncak Lawu. Manusia tak ubahnya seperti sebuah titik ditengah luasnya bumi ini.

Dalam pendakian dari Cemoro sewu menuju puncak, kita akan menjumpai 4 buah pondok sebagai pos penjagaan, yaitu pada ketinggian 2.100 m, 2.300 m, 2.500 m dan 2.800 m sebelum akhirnya tiba di Pesanggrahan Hargo Dalem pada ketinggian 3.170 m dan puncak lawu (Hargo Dumilah) pada ketinggian 3.265 meter dari permukaan air laut.

Dari pintu masuk Cemoro Kandang menuju Pos 1 (Taman Sari Bawah) jalanan agak landai berupa tanah yang akan licin bila hujan turun. Sebelum sampai pos 1 terdapat jalan kecil menuju air terjun di bawah kawah. Dari sini bau belerang sudah mulai tercium. Menuju Pos 2 (Taman Sari Atas) jalanan sedikit lebih curam dari sini pendaki bisa melihat asap mengepul dari kawah Gunung Lawu yang berada tepat dibawah belahan bukit Cokro Suryo dan bagian bukit sebelah timur. Dari pos 2 kita akan melewati jalanan yang agak sempit berliku menyisir tebing, disisi lain ada jurang pengarep-arep yang dalam. Disini sering terjadi musibah yang menimpa pendaki saat kabut tebal menutup pandangan. Sepanjang jalur ini memang agak licin dan sering terjadi longsoran karena kondisi jalanan yang menempel di dinding tebing hingga sampai di pos 3. Dari Pos 3 kita akan melewati jalanan yang terjal, di jalur ini pula ada sebuah tempat yang dikeramatkan berupa sumber mata air yang bernama Sendang Panguripan dengan airnya yang jernih dan sejuk dapat diminum langsung tanpa harus takut sakit perut. Bunga edelweiss juga dapat kita jumpai di sela-sela rerumputan dan pepohonan. Dari pos 4 menuju ke puncak jalanan agak mendatar, sedikit menurun, dan ada yang sedikit mendaki, pemandangan indah di atas Tawangmangu akan terlihat di sepanjang jalan ini, dengan menggunakan teropong kita dapat melihat kota Solo dan sekitarnya. Padang rumput, tanaman edelweis, dan megahnya puncak Cokro Suryo terlihat jelas dari pandangan. Selanjutnya perjalana berlanjut ke sasono pertapan Hargo Dalem atau dapat langsung berbelok menuju Puncak Hargo Dumilah sebagai titik tertinggi di Gunung Lawu.
Dari puncak tertinggi Hargo Dumilah kita dapat melihat pemandangan luas mengelilingi bukit. Tampak padang rumput yang amat luas membentang dengan Sumur Jolo Tundo ditengahnya sedalam 5 meter bergaris tengah 3 meter. Sumur ini biasa digunakan untuk bersemedi dan dijadikan tempat oleh guru-guru spiritual mengajarkan ilmunya. Tampak pula dari puncak Hargo Dumilah bagian puncak bukit lain yang lebih rendah seperti Hargo Tumiling dan puncak Cokro Suryo. Menuruni puncak Hargo Dumilah kita bisa menuju ke lokasi lain di sekitarnya seperti mata air Sendang Drajad yang berupa sumur kecil bergaris tengah 2 meter dan memiliki kedalaman 1,5 meter. Meskipun berada di puncak gunung mata air ini tidak pernah kering walaupun diambil terus menerus. Selain sendang drajat ada juga mata air Sendang Macan, tetapi jaraknya sangat jauh dan jalannya menurun menuju arah utara, sehingga jarang didatangi orang.
Dibagian lain di bawah puncak terdapat sebuah bangunan disebut Hargo Dalem untuk berjiarah, disinilah tempat yang dipercaya sebagai kediaman Eyang Sunan Lawu. Hargo dalem merupakan tempat bertahta raja terakhir Majapahit memerintah kerajaan Makhluk halus. Tempat ini berupa makam kuno tempat mukswa Sang Prabu Brawijaya. Menurut para pejiarah, mereka yang datang wajib melakukan upacara ritual (pisowanan) sebanyak tujuh kali untuk dapat melihat penampakan Eyang Sunan Lawu, walaupun terkadang sudah dapat melihatnya sebelum melakukan tujuh kali pendakian.
Yang unik dari puncak Gunung Lawu adalah keberadan warung makan di bawah puncaknya dengan bangunan yang lumayan. Pendaki dapat melepas lelah, makan, minum dan tiduran di warung tersebut, berbeda dengan puncak gunung lain di dunia. Inilah keunikan Gunung Lawu dengan ketinggian 3.268 meter.

Read more »

Candi Simbatan


Magetan pun memiliki tempat bersejarah mengenai Candi. Candi ini biasa di sebut oleh masyarakat sekitar yaitu Candi Simbatan, Arca Dewi Sri. Jika anda baru mendengar mengenai Candi yang satu ini merupakan hal wajar, tetapi jika anda masyarakat asli kota Magetan pasti sudah mengetahui keberadaan Candi Simbatan ini.


Memang Candi Simbatan kurang terdengar di telinga, kemungkinan Promo mengenai wisata daerah pun kurang di lakukan. Candi ini terletak di Desa Simbatan kurang lebih 17Km ke arah timur dari Kota Magetan. Sejak pada tahun 1813 Candi yang merupakan Arca Dewi Sri setiap hari Jumat Pahing pada bulan Muharram di laksanakan Bersih Desa secara rutin setiap tahun oleh warga sekitar, biasanya di lakukan pada siang hari.
Sejak tahun 1933 sampai tahun 1942, pada Arca Dewi Sri tepat pada dada kiri dan kanan keluar air sumber yang bersih, sebagian besar oleh warga Tulung Agung dan Kediri air tersebut diambil dan dimanfaatkan untuk pengobatan segala macam penyakit.
Read more »

Candi Sadon

Candi Sadon



Candi Sadon terletak di Dusun Sadon, Desa Cepoko, Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur, tepatnya di sebelah jalan raya Magetan – Panekan. Walaupun nama candi tersebut adalah Candi Sadon, sesuai dengan nama dusun tempatnya berada, namun masyarakat setempat lebih mengenalnya dengan nama Candi Reog, karena di reruntuhan Candi Sadon terdapat Kalamakara, arca raksasa Kala yang wajahnya mirip dengan kepala harimau pada 'dhadhakmerak'. Dhadhakmerak adalah topeng kepala harimau dengan hiasan susunan bulumerak disekelilingnya. Topeng ini merupakan atribut tokoh Singabarong dalam kesenian reog. Topeng dhadak merak yang berat keseluruhannya antara 30-40 kg tersebut biasanya dikenakan oleh penari Singabarong.
Tidak banyak informasi yang didapat mengenai Candi Reog, walaupun bangunan kuno ini telah ditetapkan sebagai situs suaka purbakala. Konon candi ini merupakan peninggalan Raja Airlangga, namun tidak diketahu kapan tepatnya dan untuk apa candi tersebut dibangun. Upaya pemugaran terhadap candi ini tampaknya belum pernah dilakukan, melihat kondisinya yang tinggal berupa kumpulan batu reruntuhan.
Pada tahun 1966, batu-batu reruntuhan candi tersebut diobrak-abrik dan dirusak oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Pada tahun 1969, dengan dipelopori oleh Sutaryono, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Pembinaan kebudayaan Kabupaten Magetan, diadakan penataan kembali batu-batu reruntuhan Candi Sadon. Di antara reruntuhan peninggalan bersejarah tersebut terdapat arca Kalamakara, arca naga, batu bergambar binatang, bekas umpak, yoni, dan batu yang merupakan bagian sudut candi.
Di samping itu, di areal tersebut juga didapati tiga batu bertulis. Menurut penuturan Sarnu dari Dinas Sejarah dan Purbakala Kabupaten Magetan, tulisan di ketiga batu tersebut berbunyi A-PA PA-KA-LA, SA DA PA KRA-MA dan BA DA SRI-PA SA-BA DA-HA-LA. Dari tulisannya yang berbentuk balok atau kwadrat, diperkirakan bahwa batu bertulis tersebut berasal dari masa yang sama dengan prasasti yang diketemukan di Dusun Pledokan, Kediri, Jawa Timur.
Di sebelah timur kompleks candi Sadon, tepatnya di depan pemakaman desa, terdapat candi kecil bernama Candi Reca Sapi (arca sapi). Ukuran candi ini sangat kecil, jauh lebih kecil dibandingkan dengan kebanyakan candi yang terdapat di Jawa Timur. Candi yang diperkirakan merupakan candi Hindu tersebut ditemukan pertama kali pada tahun 1971 oleh Sudiro, penduduk setempat. Ketika diketemukan, candi tersebut tertutup rumpun bambu.
Candi Reca Sapi terdiri atas lima arca, yaitu Reca Kandang, Reca Pakan ( tempat makanan sapi), Reca Omben (tempat minum sapi), Reca Capil (arca topi gembala sapi) dan Reca Cagak (tonggak tempat menambatkan tali pengikat sapi). Kelima arca tersebut diyakini sebagai perwujudan sapi dan perlengkapan menggembala milik Dadhung Awuk atau Maesadanu, tokoh penggembala dalam legenda setempat.
Read more »

 
Powered by Blogger